Husny Syeikh 'Utsman menjelaskan di
dalam Hasyisyah (catatan pinggir) kitab Haqqut Tilawah, bahwa para ulama
melarang/tidak membolehkan Talfiq di dalam hal membaca Qira'at al-Quran. Talfiq
dalam Qira'ah berbeda dengan Talfiq dalam mazhab fiqh, di mana sebagian ulama
masih membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu.
Maksud Talfiq atau Tarkib dalam
Qira'ah (bacaan Al-Quran) adalah mencampur-adukkan beberapa jalur periwayatan bacaan
Al-Quran (Thariq) antara satu dengan lainnya. Syeikh An Nuwairy dalam kitab
Ad-Durrah berkata: membaca Al-Quran dengan mencampur-adukkan beberapa Thariq
dan tumpang tindih menjadi satu adalah haram, makruh atau tercela.
Dan dalam kitab Lathaif, Imam
al-Qastalaniy menjelaskan: pembaca Al-Quran wajib menjaga tidak
mencampur-adukkan jalur-jalur periwayatan (Thariq) dan membedakan satu dengan
lainnya. Jika tidak demikian maka dia akan memasuki ranah yang tidak
diperbolehkan yaitu Qira'ah yang tidak pernah diturunkan (diwahyukan).
Tidak diperbolehkannya Talfiq karena
dasar dalam membaca Al-Quran adalah Talaqqi (membaca langsung di depan
guru) dan periwayatan, bukan Ijtihad dan Qiyas. Hal tersebut
dikarenakan para ulama ‘Adaa’ (yang menyampaikan riwayat) membaca
langsung Al-Quran di depan guru-gurunya (Talaqqi) dengan bentuk
penyampaian yang mereka pelajari dari guru-guru mereka sebelumnya dengan metode
tertentu dan baku. Semua ulama Khalaf (belakangan) ber-talaqqi kepada ulama Salaf
(sebelumnya) sehingga sanad mereka tersambung dengan para imam Qira’ah.
Dan semuanya mempunyai sanad yang dapat dipercaya serta tersambung
kepada Rasulullah Saw.
Dalam membaca Al-Quran seseorang
harus menerima/mengambil cara membacanya dari para guru yang bersanad dari guru
yang juga sudah mengambil Qira’ah dari guru-guru sebelumnya, untuk
memastikan bacaan tersebut sama dengan bacaan yang datang dari Rasulullah Saw
dengan sanad yang shahih dan muttashil. Adapun jika
seseorang menyandarkan bacaannya pada isi kitab atau mengikuti apa yang
didengarnya dari para Qori’ di radio maka dia sudah merusak tiga rukun Qira’ah
yang shahih dan bacaannya termasuk dalam pendustaan terhadap riwayat
Al-Quran.
Makki Ibn Abi Thalib (w. 347 H) menetapkan
syarat Qira’ah Shahih sebagai berikut:
a.
Qira’ah
tersebut sesuai dengan kaidah Bahasa Arab yang baku.
b.
Qira’ah
tersebut harus sesuai dengan Rasm Al-Mushaf.
c.
Qira’ah
tersebut harus didukung oleh ahli Qira’ah.
Sementara itu, Al-Khawasy (w. 680 H) menetapkan persyaratan sebagai
berikut:
a.
Qira’ah
tersebut harus memiliki sanad yang shahih.
b.
Qira’ah
tersebut harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
c.
Qira’ah
tersebut harus sesuai dengan Rasm Al-Mushaf.
Ibnul Jazari
(w. 833 H) menetapkan persyaratan Qira’ah shahih sebagai berikut:
a.
Qira’ah
tersebut harus memiliki sanad yang shahih.
b.
Qira’ah
tersebut harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab secara mutlak.
c.
Qira’ah
tersebut harus sesuai dengan Rasm Al-Mushaf meskipun tidak persis betul.
Dari ketiga pendapat ulama tentang
persyaratan Qira’ah shahih dapat disimpulkan bahwa ada tiga persyaratan bagi
Qira’ah Al-Quran untuk dapat digolongkan menjadi Qira’ah yang shahih, yaitu:
1.
Memiliki
sanad yang jelas meskipun diterima dari Qari’ selain dari Qari’ imam 7 dan imam
10.
2.
Sesuai
dengan Rasm Al-Mushaf Utsmani.
3.
Sesuai
dengan kaidah Bahasa Arab.[1]
Pastikan untuk merujuk bacaan bacaan
Al-Quran pada riwayat Hafsh dari Thariq Asy-Syathibiyyah jika
berada pada majlis yang umumnya menggunakan riwayat dan Thariq tersebut
atau boleh juga merujuk pada riwayat dan Thariq lainnya dengan catatan
telah belajar dengan seorang Alim yang tersambung sanad bacaannya sampai
Rasulullah Saw.
Comments
Post a Comment
Ucapkan salam sebelum berkomentar!!!