Skip to main content

SEJARAH TANDA BACA DAN TAJWID


Tentu, tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membaca Alquran andai hingga saat ini kalam Ilahi itu masih ditulis dalam huruf Arab yang belum ada tanda bacanya, sebagaimana pada zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin.


Jangankan harakat fatah (baris atas), kasrah (baris bawah), damah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk, serta tanda titik-koma (tanda baca) saja tidak ada. Tentu, masih lebih mudah membaca tulisan Arab yang ada di kitab kuning yang gundul (tanpa harakat) karena umat Islam masih bisa mengenali huruf-hurufnya berdasarkan bentuk dan tanda bacanya. Misalnya, huruf ta, tsa, ba, nun, syin, sin, shad, tho', dan sebagainya walaupun tidak mengetahui terjemahannya.

Beruntunglah, kekhawatiran-kekhawatiran ini cepat teratasi hingga umat Islam di seluruh dunia bisa mengenali dan lebih mudah dalam membaca Alquran. Semua itu tentunya karena adanya peran dari sahabat Rasul, tabin, dan tabiit tabiin.

Pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca Alquran tanpa ada syakal.

Pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran ini dilakukan dalam tiga fase. Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad ad-Dawly untuk meletakkan tanda baca (i'rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.

Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, al-Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf baa' dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar.

Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah makin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan Alquran bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan Alquran dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan Alquran, baik bagi umat Islam yang keturunan Arab maupun non-Arab ('ajami).

Baru kemudian, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa damah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.

Kemudian, pada masa Khalifah al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk makin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad.

Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah pada awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah 'ain.

Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran adalah tajzi', yaitu tanda pemisah antara satu juz dan yang lainnya, berupa kata juz dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.

Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca Alquran. Ini semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam membaca Alquran. 

Comments

Popular posts from this blog

RASM, DHABTH, DAN KHATH

1. RASM Rasm artinya bentuk atau gambar. Dalam konteks mushaf, yang disebut rasm adalah batang tulisan sebuah huruf pada sebuah kata atau kalimat. Tanpa tanda titik (nuktah al-i'jam) atau tanda harakat (nuktah al-i'rab). Ilmu Rasm Al-Quran merupakan sebuah disiplin ilmu yang meneliti ragam penulisan Al-Quran, baik dari sisi itsbat wal hadzf (menetapkan adanya huruf atau membuangnya), az-ziyadah (tambahan sebuah huruf pada sebuah kata), penulisan hamzah, al-ibdal (penggantian sebuah huruf dengan huruf lain pada sebuah kata), al-maqthu' wal maushul (dua kata yang ditulis terpisah atau tersambung), atau perbandingan penulisan mushaf al-imam (mushaf induk/ mushaf utsmani). Dalam ilmu Rasm juga dibahas pandangan para Ulama mengenai kaidah penulisan Al-Quran. Apakah dalam penulisan Al-Quran harus selalu mengacu kepada mushaf al-imam (rasm utsmani) atau boleh menggunakan rasm imla'i (gaya tulisan yang berlaku umum/ tulisan kamus). Hal ini disebabkan rasm utsmani m...

SEJARAH PENGUMPULAN AL QURAN DI MASA UTSMAN

Sepeninggal Rasulullah SAW, barulah upaya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang berisikan ayat-ayat Alquran mulai dilakukan. Hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Khalifah Abu Bakar atas usulan Umar bin Khattab. Dalam sejumlah riwayat, disebutkan bahwa pada awal kepemimpinannya, Abu Bakar dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar yang berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu, ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Alquran. Dalam peperangan ini, 70 orang hafiz (penghafal Alquran) dari para sahabat gugur. Melihat kenyataan ini, Umar bin Khattab merasa khawatir. Ia kemudian menghadap Abu Bakar dan memberi usul kepadanya agar segera mengumpulkan dan membukukan Alquran sebab peperangan Yamamah telah menyebabkan banyaknya penghafal Alquran yang gugur di medan perang. Ia juga khawatir jika peperangan di tem...

MENCAMPUR-ADUKKAN BACAAN (TALFIQ) ANTARA BEBERAPA THARIQ (JALUR PERIWAYATAN)

Husny Syeikh 'Utsman menjelaskan di dalam Hasyisyah (catatan pinggir) kitab Haqqut Tilawah, bahwa para ulama melarang/tidak membolehkan Talfiq di dalam hal membaca Qira'at al-Quran. Talfiq dalam Qira'ah berbeda dengan Talfiq dalam mazhab fiqh, di mana sebagian ulama masih membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu.   Maksud Talfiq atau Tarkib dalam Qira'ah (bacaan Al-Quran) adalah mencampur-adukkan beberapa jalur periwayatan bacaan Al-Quran (Thariq) antara satu dengan lainnya. Syeikh An Nuwairy dalam kitab Ad-Durrah berkata: membaca Al-Quran dengan mencampur-adukkan beberapa Thariq dan tumpang tindih menjadi satu adalah haram, makruh atau tercela. Dan dalam kitab Lathaif, Imam al-Qastalaniy menjelaskan: pembaca Al-Quran wajib menjaga tidak mencampur-adukkan jalur-jalur periwayatan (Thariq) dan membedakan satu dengan lainnya. Jika tidak demikian maka dia akan memasuki ranah yang tidak diperbolehkan yaitu Qira'ah yang tidak pernah diturunkan (diwahyukan)...