Skip to main content

TOLOK UKUR FASIH, SUARA ATAU BENTUK BIBIR?


Kalau baca shod tidak boleh mecucu.

Kalau baca kasroh bibir harus meringis.
Kalau baca huruf istifal harus senyum.
Kalau baca huruf dhommah harus mecucu.
Kalau waqaf pada huruf tarqiq sebelumnya dhommah mulut harus kembali senyum.
Dan masih bnayak lagi lainnya.

Terdapat 2 hal yang darinya kita mengetahui fasohah sebuah bacaan, suara dan bentuk mulut. Lalu, manakah yang paling dominan menjadi penentu?
Saya katakan suara, bukan gerak dan bentuk mulut. Sehingga bila ada seseorang yang terlalu sering mempermasalahkan bentuk mulut seorang qari ketika mengaji maka ia adalah guru yang takalluf dalam tahsin. Perbuatannya ini termasuk berlebihan dan tercela, membuat orang lain merasa kesulitan membaca Al Qur'an, padahal mengaji itu mudah dan simple.
Berikut ini beberapa argumen dan pengalaman al faqir :
1. Di dalam majlis Syekh Ahmad Isa Al Masharawi alfaqir selalu memperhatikan murid-murid beliau ketika membaca. Diantaranya saya jumpai ada yang membaca seakan-akan bibirnya tidak melakukan gerakan melainkan sedikit aja. Walhasil bacaannya terdengar kurang clear.
Anehnya, ia sudah setoran sampai juz 28 kepada syekh Ahmad Isa, dan beliau mendiamkannya. Tentu diam beliau ini pertanda ridho, toleransi, dirasa cukup dengan bacaan tersebut. Kesimpulannya bacaan Al Qur'an itu mudah sederhana, tidak seseram tashih asatidz yang ketat dan seperti mencari-cari kesalahan muridnya.
2. Gerakan-gerakan bibir itu akan nampak jelas dan nyata terlihat ketika seorang murid dalam tahap belajar fasohah lisan. Dalam arti ia tidak sedang mengaji sambung ayat, tapi latihan a i u ba' dll. Adapun dalam keadaan praktik mengaji gerakan kembang-kempis bibir itu akan berkurang. Biila dipaksakan malah akan terjadi bacaan yang kaku dan bentuk muka juga akan jelek dilihat. Cara mengaji seperti ini sangat tercela.
3. Perintah Al Qur'an adalah menggerakkan lisan, bukan mulut atau bibir yang kembang kempis membuka dan menutup. Sehingga kegiatan tersebut bukanlah inti dari mengaji Al Qur'an, melainkan hanya pelengkap dan penyempurna saja.
4. Pada pembahasan itmamul harakah (yakni supaya terdengar sempurna, mulut harus mecucu ketika mengucap dhommah, fathah dengan membuka mulut, kasroh dengan meringis sedikit) perlu diperhatikan kata yang digunakan, yaitu itmam. Arti itmam adalah menyempurnakan bacaan.
Pemahamannya adakalanya sebuah bacaan itu sudah benar dan sempurna, namun bila ingin lebih sempurna maka harus lebih memperhatikan lagi tips diatas. Dan pelajaran itmam harakat disini tidak ada kaitannya dengan ijazah atau sanad. Tidak ada syekh mujiz yang memsyaratkan itmam sebelum dapat ijazah melainkan jarang.
5. Al Faqir punya teman belajar. Ketika membaca huruf kasroh yang didepannya terdapat ya sukun (menyebabkan bibir semakin meringis) seperti بشير terlihat bibirnya tidak meringis. Malahan setengah mecucu karena efek sifat tafasysyi (tersebar udara) dan terdengar sudah fasih. Dalam hal ini ia dibiarkan saja dan sudah cukup fasih dalam pengucapannya.
6. Bilamana bentuk mulut atau bibir adalah penentu fasohah bacaan, maka betapa beratnya seorang syekh yang kebetulan ditutup penglihatannya ketika menyimak bacaan muridnya. Sang syekh harus mengkontrol bentuk bibir dengan tangan, dan ini berlebihan nan tercela.
7. Bisa dipastikan bahwa suara bacaan yang menyimpang itu adakalanya disebabkan karena bentuk bibir dan mulut yang kurang tepat. Sebaliknya, bukan berarti ketika bentuknya kurang tepat lalu disimpulkan suara bacaannya menyimpang. Hanya seorang Muqri (pengajar) yang lihai dan kompeten saja yang dapat mengetahuinya.
Demikian beberapa argumen dan alasan kenapa alfaqir katakan bahwa penentu fasohah adalah sebagian besar dinilai dari suara. Bukan dari bentuk bibir dan mulut, karena perannya hanya penyempurna fasohah saja.

Comments

Popular posts from this blog

RASM, DHABTH, DAN KHATH

1. RASM Rasm artinya bentuk atau gambar. Dalam konteks mushaf, yang disebut rasm adalah batang tulisan sebuah huruf pada sebuah kata atau kalimat. Tanpa tanda titik (nuktah al-i'jam) atau tanda harakat (nuktah al-i'rab). Ilmu Rasm Al-Quran merupakan sebuah disiplin ilmu yang meneliti ragam penulisan Al-Quran, baik dari sisi itsbat wal hadzf (menetapkan adanya huruf atau membuangnya), az-ziyadah (tambahan sebuah huruf pada sebuah kata), penulisan hamzah, al-ibdal (penggantian sebuah huruf dengan huruf lain pada sebuah kata), al-maqthu' wal maushul (dua kata yang ditulis terpisah atau tersambung), atau perbandingan penulisan mushaf al-imam (mushaf induk/ mushaf utsmani). Dalam ilmu Rasm juga dibahas pandangan para Ulama mengenai kaidah penulisan Al-Quran. Apakah dalam penulisan Al-Quran harus selalu mengacu kepada mushaf al-imam (rasm utsmani) atau boleh menggunakan rasm imla'i (gaya tulisan yang berlaku umum/ tulisan kamus). Hal ini disebabkan rasm utsmani m...

SEJARAH PENGUMPULAN AL QURAN DI MASA UTSMAN

Sepeninggal Rasulullah SAW, barulah upaya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang berisikan ayat-ayat Alquran mulai dilakukan. Hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Khalifah Abu Bakar atas usulan Umar bin Khattab. Dalam sejumlah riwayat, disebutkan bahwa pada awal kepemimpinannya, Abu Bakar dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar yang berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu, ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Alquran. Dalam peperangan ini, 70 orang hafiz (penghafal Alquran) dari para sahabat gugur. Melihat kenyataan ini, Umar bin Khattab merasa khawatir. Ia kemudian menghadap Abu Bakar dan memberi usul kepadanya agar segera mengumpulkan dan membukukan Alquran sebab peperangan Yamamah telah menyebabkan banyaknya penghafal Alquran yang gugur di medan perang. Ia juga khawatir jika peperangan di tem...

MENCAMPUR-ADUKKAN BACAAN (TALFIQ) ANTARA BEBERAPA THARIQ (JALUR PERIWAYATAN)

Husny Syeikh 'Utsman menjelaskan di dalam Hasyisyah (catatan pinggir) kitab Haqqut Tilawah, bahwa para ulama melarang/tidak membolehkan Talfiq di dalam hal membaca Qira'at al-Quran. Talfiq dalam Qira'ah berbeda dengan Talfiq dalam mazhab fiqh, di mana sebagian ulama masih membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu.   Maksud Talfiq atau Tarkib dalam Qira'ah (bacaan Al-Quran) adalah mencampur-adukkan beberapa jalur periwayatan bacaan Al-Quran (Thariq) antara satu dengan lainnya. Syeikh An Nuwairy dalam kitab Ad-Durrah berkata: membaca Al-Quran dengan mencampur-adukkan beberapa Thariq dan tumpang tindih menjadi satu adalah haram, makruh atau tercela. Dan dalam kitab Lathaif, Imam al-Qastalaniy menjelaskan: pembaca Al-Quran wajib menjaga tidak mencampur-adukkan jalur-jalur periwayatan (Thariq) dan membedakan satu dengan lainnya. Jika tidak demikian maka dia akan memasuki ranah yang tidak diperbolehkan yaitu Qira'ah yang tidak pernah diturunkan (diwahyukan)...